Seputarenergi – Ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai nilai kendaraan listrik global telah menjadi sorotan karena diduga telah memicu eksploitasi tambang nikel yang berlebihan. Kondisi ini mencerminkan kemunculan neo-ekstraktivisme, sebuah era di mana praktik ekstraktif diizinkan dalam skala yang lebih luas demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, meskipun dampaknya mencakup perampasan lahan dan kerusakan lingkungan, khususnya akibat penambangan terbuka yang melibatkan investasi asing.
Intervensi aktif dari negara dalam mendorong model neo-ekstraktivisme telah menjadi perhatian utama. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk legitimasi politik terhadap penambangan besar-besaran, yang menciptakan fleksibilitas hukum dan narasi minim mengenai dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan.
Peneliti Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra telah mengidentifikasi berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung pertumbuhan neo-ekstraktivisme. Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020, serta pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, semakin memperkuat arah politik yang mendukung investasi perusahaan tambang dengan mengabaikan dampak lingkungan dan masyarakat yang terdampak.
Afira menyatakan, “Kebijakan-kebijakan ini cenderung bercorak regulatory capture, dimana regulasi yang secara konsisten atau berulang kali diarahkan menjauh dari kepentingan publik menuju kepentingan industri yang diatur dalam regulasi tersebut. Regulasi seperti ini akan menjauhkan komitmen pemerintah untuk menyediakan instrumen hukum dan keadilan lingkungan.”
Dalam acara peluncuran policy paper yang bertajuk “Neo-ekstraktivisme di Epicentrum Nikel Indonesia: Kerapuhan Tata Kelola Pertambangan, Kerusakan Ekologis, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Bumi Celebes”, berbagai pihak termasuk Direktur Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulawesi Tengah Sunardi Katili, serta Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman turut hadir untuk membahas dampak dari neo-ekstraktivisme ini.
Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulsel, mengungkapkan keprihatinannya terhadap eksploitasi sumber daya alam yang besar tanpa adanya upaya serius dalam pengembangan tata kelola pertambangan yang berkelanjutan. Dampaknya termasuk kerusakan ekologis yang serius serta pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu contohnya adalah ancaman terhadap lumbung merica nusantara di Blok Tanamalia atau Pegunungan Lumereo-Lengkona.
Di Sulawesi Selatan, ambisi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik telah mempercepat kerusakan lingkungan, seperti hutan hujan hingga pesisir dan laut, serta memiskinkan rakyat, terutama masyarakat adat dan perempuan di Sulawesi Selatan. Salah satu perusahaan tambang nikel terbesar di Sulsel, PT Vale, mengancam keberadaan lumbung merica tersebut.
Di Sulawesi Tengah, aktivitas pertambangan nikel yang masif semakin meningkatkan laju deforestasi. Hutan hujan alam yang terdapat dalam konsesi pertambangan nikel terbesar berada di Sulawesi Tengah dengan luas lebih dari 200.000 hektar. Ekspansi tambang nikel juga telah berkontribusi pada banjir dan kerusakan lingkungan.
Ekspansi tambang nikel juga semakin memperburuk situasi ini. Direktur Walhi Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, mengaitkan banjir di beberapa wilayah dengan ekspansi tambang nikel. Kejadian serupa terjadi pada tahun 2022 dan 2023, merendam wilayah dan memaksa masyarakat untuk mengungsi. Debu dari pembakaran batu bara yang mendukung operasi tambang nikel juga telah menyebabkan masalah kesehatan, termasuk ISPA.
Di Sulawesi Tenggara, aktivitas tambang nikel juga telah berdampak pada lingkungan dan mengakibatkan konflik dengan warga. Menurut Andi Rahman, Direktur Walhi Sulawesi Tenggara, banyak kasus kriminalisasi akibat konflik antara warga dan perusahaan tambang nikel. Data WALHI menunjukkan bahwa dari tahun 2019-2023, ada sekitar 32 orang yang dikriminalisasi dan 2 orang ditangkap, sementara 14 orang mengalami penganiayaan.
Dalam menghadapi banyaknya risiko lingkungan dan dampak hak asasi manusia yang diakibatkan oleh kegiatan tambang nikel, Satya Bumi bersama Aliansi Walhi Sulawesi mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberlakukan moratorium penerbitan izin tambang mineral kritis di Sulawesi Selatan. Mereka juga mengusulkan kepada Menteri ESDM dan KLHK untuk meninjau ulang izin-izin tambang nikel di wil
ayah tersebut serta moratorium penerbitan IPPKH untuk perusahaan tambang nikel. Selain itu, pemerintah, perusahaan, dan lembaga keuangan internasional juga diharapkan untuk mengambil tindakan yang mencegah dampak negatif dari aktivitas tambang nikel di Sulawesi Selatan.