Seputarenergi – Faisal Basri, seorang ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI), mengungkapkan keprihatinannya terhadap industri nikel di Indonesia, menyatakan bahwa industri tersebut lebih memberikan keuntungan kepada investor asing daripada kepada Indonesia. Menurutnya, hal ini merugikan warga negara Indonesia.
“Rakyat Indonesia merasakan hidup yang lebih parah dan menderita dibandingkan masa penjajahan dahulu,” ujarnya saat menghadiri diskusi film Bloody Nickel di Taman Ismail Marzuki pada Sabtu, 4 Mei 2024.
Faisal juga menyoroti bahwa keuntungan dari hilirisasi nikel di Indonesia sebagian besar dinikmati oleh investor asal Cina. “Kalau dihitung-hitung untung ruginya, bahkan lebih banyak minusnya,” tambahnya.
Dalam keterangannya, Faisal memperkirakan bahwa hampir 90 persen keuntungan dari industri nikel di Indonesia berakhir di perusahaan-perusahaan asal Cina. “Hampir semua perusahaan dari Cina, keuntungan juga nanti untuk Cina,” tegasnya.
Kritik Faisal terhadap kebijakan industrialisasi nikel bukan hal baru. Sebelumnya, pernyataannya tentang kebijakan ekspor nikel telah menjadi sorotan publik. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial Twitter, Faisal mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo terkait ekspor nikel.
Pada seminar yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta Pusat pada tanggal 8 Agustus 2023, Faisal juga mengkritik kebijakan hilirisasi pertambangan, terutama nikel. Menurutnya, Indonesia hanya merasakan keuntungan kurang dari 10 persen dari regulasi tersebut.
Faisal juga menyoroti program transisi energi melalui kendaraan listrik yang didorong secara masif oleh pemerintah. Menurutnya, bahan bakar listrik untuk kendaraan listrik masih bergantung pada batu bara olahan. “Ujungnya menguntungkan elit yang terlibat dalam industri motor listrik,” paparnya.