Pemerintah melakukan revisi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) 2020 melalui Perpres No 54/2020. Pada revisi tersebut, target penerimaaan subsektor minyak dan gas turun dari yang semula Rp192,04 triliun menjadi Rp100,16 triliun.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, realisasi penerimaan subsektor migas yang terdiri dari PPh migas, BNBP migas, dan penerimaan lainnya dari minyak bumi, terhitung sampai dengan 30 April 2020 telah mencapai Rp 42,87 triliun.
Ia juga memprediksikan penerimaan migas dapat mencapai angka Rp 86,33 triliun pada akhir 2020.
“Sebesar Rp 32,75 triliun merupakan penerimaan PNBP migas,” ujarnya.
Penerimaan subsektor migas, lanjut Arifin, termasuk PNBP dipengaruhi beberapa faktor, yaitu lifting gas, ICP, dan kurs.
“Sebagai contoh, jika ICP sebesar USD 40 per barel, maka PNBP migas mencapai Rp 58,11 triliun. Namun jika ICP USD 20 per barrel maka PNBP akan mencapai Rp 9,93 triliun,” ungkap Arifin.
Demikian pula sensitivitas pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Arifin memperjelas, bahwa apabila nilai rupiah 14 ribu per dolar AS, maka PNBP migas mencapai Rp35,12 triliun. Namun apabila nilai rupiah melemah menjadi 18 ribu per dolar AS, maka PNBP migas akan mencapai Rp 55,89 triliun.
“Sementara untuk sensitivitas ICP, per USD 1 per barel, akan berdampak perubahan penerimaan negara sebesar Rp 3,5 triliun. Begitu juga setiap perubahan kurs Rp 100, akan berdampak pada perubahan penerimaan negara sebesar Rp 0,7 triliun,” pungkasnya.
Pada masa pandemi Corona saat ini amat mempengaruhi seluruh sektor bisnis termasuk minyak dan gas (migas). Penerapan kebijakan untuk tidak mengumpulkan banyak orang dan pembatasan jarak menyebabkan kegiatan di hulu migas yang sebagian besar bersifat fisik dan observasi ke lapangan menjadi begitu terbatas.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto dalam hal ini menyampaikan beberapa hambatan yang dihadapi sektor migas.
“Yang pertama adalah laju transportasi material yang lebih lama, khususnya pengiriman dari luar negeri,” ungkapnya.
Lanjut, produktivitas teknisi dan tenaga konstruksi menjadi lebih rendah karena adanya penerapan work from home (WFH) dan dibatasinya jumlah personel yang dibolehkan di lokasi proyek. Inspeksi kinerja peralatan dan fasilitas juga lebih lama lantaran kebijakan WFH tersebut.
“Mobilitas pekerja ke lokasi lebih sulit karena perijinan dan waktu karantina dan potensi overstay yang berisiko pada keselamatan kerja,” lanjut Dwi.
Sebagai informasi, SKK migas telah menargetkan 11 proyek hulu migas yang akan on stream. Mayoritas proyek tersebut merupakan proyek pengembangan lapangan gas. Jumlah proyek ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya ada 9 proyek.
Sumber : Liputan6.com