Komoditas utama yang paling tidak disuÂkai di dunia sedang membara lagi. Dalam dua bulan terakhir, harga batu bara termal yang diÂgunakan untuk menghasilkan listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap, telah melonjak karena meningkatnya perminÂtaan dari konsumen utama di Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Jepang.
Menurut penilaian harga dari Argus, sejak awal NovemÂber, batu bara Australia yang berenergi tinggi, telah naik 45 persen menjadi 80 dollar AS per ton, sementara komoditas serupa dari Afrika Selatan naik 65 persen menjadi sekitar 100 dollar AS per ton.
Reli harga itu melegakan bagi produsen besar bahan bakar fosil Australia, seperÂti Glencore, setelah komoÂditas ini diperdagangkan di bawah 50 dollar AS per ton pada kuartal kedua dan ketiÂga, karena penurunan aktiviÂtas industri yang disebabkan oleh penguncian pandemi Covid-19.
Pedagang mengatakan beÂberapa faktor berperan daÂlam kenaikan harga tersebut. Pertama, ketatnya pasar batu bara termal seaborne. Tahun ini, sekitar 25 juta ton produksi Kolombia terkena pembatasan sebagai tanggapan terhadap harga yang lemah, dan tidak ada pasokan baru yang meÂngalir karena bank dan invesÂtor menolak untuk membiayai tambang baru.
Pada saat yang sama, perÂmintaan di Asia mulai meningÂkat karena pemulihan ekoÂnomi kawasan dan baru-baru ini musim dingin melanda kaÂwasan itu.
Beralih ke Indonesia
Sedangkan di Tiongkok, produksi dalam negerinya beÂlum mampu mengimbangi paÂsokan sehingga harga melonÂjak, mendorong krisis pasokan dan pencarian batu bara imÂpor. Namun, hal itu diperumit oleh larangan tidak resmi atas batu bara Australia karena perÂselisihan diplomatik.
Akibatnya, pembeli TiongÂkok beralih ke produsen di Indonesia, Russia, dan bahÂkan Afrika Selatan yang belum pernah mereka impor sejak 2016 karena ketidakmurnian kadarnya.
Pedagang memperkirakan sekitar satu juta ton batu bara Afrika Selatan saat ini sedang dalam perjalanan ke Tiongkok, dengan kemungkinan lebih baÂnyak lagi yang akan menyusul.