Menghadirkan kondisi lingkungan yang nyaman, bebas polusi saat ini adalah keharusan. Bukan lagi di antara pilihan mau atau tidak, terkhusus di Indonesia.
Dalam webinar bertajuk “Mendorong Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru” yang digelar YLKI bekerjasama dengan Kantor Berita Radio (KBR), Kamis (18/3/2021), disebut polusi udara menjadi ancaman besar di Indonesia.
Untuk kota-kota besar terkhusus kota industrial 80 persen polusi udara disumbangkan oleh emisi pembakaran kendaraan bermotor. Sebab masyarakat tidak mengikuti standar internasional (Euro 4) dalam penggunaan BBM ramah lingkungan.
“Jadi jangan bermimpi untuk mewujudkan kondisi ramah lingkungan sesuai perjanjian Paris Protocol on Climate Change kalau masih menggunakan BBM dari energi fosil,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, yang menjadi salah satu narasumber.
Persoalan yang muncul kemudian, salah satu program yang mengarah pada perbaikan lingkungan termasuk pengendalian polusi dan emisi karbon yakni program langit biru nampaknya belum teraplikasi dengan baik.
Padahal program ini sudah dicetuskan sejak tahun 1996 silam, di era Presiden RI, Soeharto. Silih berganti pucuk kepemimpinan di Tanah Air pun belum memberikan hasil maksimal dalam menyukseskan program ini.
Program Langit Biru
Dilansir dari dephub.go.id, program langit biru merupakan program yang bertujuan mengendalikan dan pencemaran udara. Serta mewujudkan perilaku sadar lingkungan baik dari industri maupun kendaraan bermotor.
Program ini pertama kali diluncurkan pertama kali tahun 1996 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996.
“Program ini tidak bisa dipisahkan dengan konteks BBM (Bahan Bakar Minyak) ramah lingkungan yang juga sudah dicanangkan pada tahun 1996 itu,” ucap Tulus Abadi.
Lebih lanjut ia menyebut antara program langit biru dan BBM ramah lingkungan saling terkait.
“Kita tidak bisa berbicara program langit biru tanpa mengurangi ketergantungan kepada energi fosil, khususnya BBM karena itu sangat dominan dalam menunjang aktifitas kita sehari-hari,” sambungnya.
Pemerintah Inkonsisten
Upaya mewujudkan program langit biru sebenarnya menemui titik terang di tahun 2015 lalu. Setelah sekian lama Pemerintah tak berjalan atau melenceng dari rel yang sudah ditetapkan program tersebut.
Pada tahun 2015 itu, Presiden RI, Joko Widodo, menghadiri Paris Protocol on Climate Change di Paris, Prancis. Saat itu Jokowi turut menandatangani perjanjian.
Dari pertemuan itu hadirlah Undang-Undang yang berisi tentang pengurangan emisi karbon hingga 40 persen untuk tahun 2030-2040 mendatang. Salah satu implementasinya yakni pengurangan penggunaan BBM premium.
Sebab dinilai merugikan masyarakat secara kesehatan maupun ketahanan kendaraan.
“Tapi dua tahun (2017) setelah diminta oleh tim reformasi mafia migas tapi sayangnya tahun 2018 dengan alasan menjelang mudik lebaran dan Pemilu waktu itu premium diadakan lagi sampai sekarang,” terang Tulus.
Industri dan Harga
Pengendalian emisi karbon lewat program langit biru tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pihak yang menjadi ujung tombak dalam menyukseskan program ini kesulitan dalam hal sosialisasi.
Persoalan pertama yang dihadapi, meminta masyarakat untuk tak menggunakan BBM dengan tingkat emisi karbon tinggi terkendala berbagai faktor. Tercatat BBM yang menghasilkan emisi karbon tinggi yakni round 88 (premium) dan round 90 (pertalite) masih yang tertinggi penggunaannya.
“Ketika emisi diperketat tentu teknologinya harus diupgrade, tentu tugas emsisi ini adalah KLHK, ketika emisi ini diperketat maka teknologi upgrade ini tugasnya perindustrian dan sektor otomotif tentunya,” tutur Dasrul Chaniago selaku Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK.
Masalahnya adalah bagi Dasrul, industri otomotif utamanya belum pada tahap ‘memaksa’ konsumen otomotif menggunakan kendaraan ramah lingkungan. Hal inilah yang ia sebut perlu adanya sinergitas bersama.
Namun Ekonom, Faisal Basri, yang juga sebagai narasumber menyebut soal pengendalian emisi karbon tak sepenuhnya mempersalahkan industri otomotif. “Semua industri otomotif, semua produksinya berstandar Euro 4, jadi kalau dibilang tidak siap mohon maaf itu tidak bener,” tegasnya.
Masalah utamanya bagi Faisal Basri terletak pada ketersediaan BBM tidak ramah lingkungan yang masih melimpah. Bahkan menjadi pilihan utama yang dikonsumsi masyarakat lantaran faktor harga.
“Apapun pada umumnya berlaku hukum permintaan, semakin murah barang semakin banyak dibeli, mau tidak mau harga yang utama baru yang lain-lain,” sambungnya.
Saatnya Beralih
Faisal Basri yang pernah ditunjuk sebagai Ketua tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi menyebut Pertamina sebetulnya sudah siap menghapuskan BBM premium. Namun terkendala oleh tarik ulur kepentingan di tubuh Pemerintahan.
Namun sebetulnya ia melanjutkan, situasi pandemi ini bisa saja jadi momen untuk mewujudkan hal tersebut, Mengingat sempat terjadi kenaikan harga minyak yang menurutnya bisa jadi batu pijakan untuk segera beralih ke penggunaan BBM rendah emisi karbon.
“Inilah momen paling bagus untuk membunuh premium di tengah pandemi kita perlu bertransformasi di segala bidang kehidupan, termasuk BBM dari yang tidak ramah lingkungan ke ramah lingkungan,” katanya.
Proses peralihan penggunaan BBM premium ke non premium pun tengah digenjot Pertamina. Salah satunya saat ini Pertamina menghadirkan program Langit Biru Pertamina.
Langit Biru Pertamina ini merupakan bagian dari program marketing dan edukasi yang secara bertahap berlangsung di sejumlah wilayah. Yakni wilayah Jawa, kemudian yang tengah berlangsung di kota Makassar.
“Program Langit Biru Pertamina adalah program marketing Pertamina untuk memberikan kesempatan bagi konsumen setia kami di wilayah-wilayah tertentu untuk bisa mencicipi keunggulan manfaat dari BBM ramah lingkungan,” papar Deny Djukardi W selaku VP Sales Support PT Pertamina.
Sasaran program ini lanjut Deny yakni untuk penggunaan kendaraan roda dua, roda tiga, Angkutan Kota (Angkot) dan Taksi plat kuning.
“Konsumsi premium cukup mengalami penurunan yang signifikan di wilayah yang sudah digelar program ini, 2021 ini kami ingin memperluas program ini di luar Jawa, seperti Sulsel, Papua, Ppapua Barat, NTB, Bangka Belitung dan Kalimantan Barat,” sambungnya.
Deny pun berharap program Langit Biru Pertamina adalah bagian dari upaya mewujudkan pengurangan emisi karbon yang akan secara bertahap digelar hingga mencapai tujuannya. “Jadi ini berkat semua pihak yang mendukung, dari Kementerian, Pemerintah Daerah, YLKI dan semuanya, semoga langkah ini bisa semakin diperbesar dan diperluas,” tutupnya.
Sumber asli: Tribunnews.com